Searching...
Selasa, 17 Februari 2009
00.50

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan:

Relasi Antara Akal dan Wahyu*


Dalam setiap diskursus yang terjadi dalam setiap percaturan pencarian manusia serta hubungannya dengan Penciptanya, pasti yang muncul ke permukaan mengenai mainstreamnya adalah persoalan akal dan wahyu. Walaupun permasalahan ini telah disinggung oleh banyak filsuf ataupun teolog dari setiap agama baik islam ataupun kristen, pembicaraan ini tetap menarik perhatian khalayak. Persoalan akal dan wahyu serta hubungannya dengan dimensi profetik tetap dipandang sebagai sebuah permasalahan yang bias dalam masyarakat.

Bila kita memandang diskursus ini dengan kaca mata filsafat barat maka disini kita akan menemui sebuah kontradiksi yang signifikan dalam pembahasannya. Filsafat barat mendasarkan pada aktifitas rasio atau yang selanjutnya diwakili oleh akal “melulu”, sehingga antara akal dan wahyu merupakan dua konsep yang sangat berbeda. Filsafat merupakan bentuk pengetahuan yang menyandarkan pada rasio sedangkan bentuk pengetahuan yang menyandarkan pada wahyu disbut teologi. Dengan cara ini filsafat memungkinkan untuk mempersoalkan wahyu karena memang keduanya tidak mempunyai hubungan. Tetapi disini yang perlu dipahami adalah bahwa filsafat memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada masa klasik terdapat hubungan yang harmoni antara iman dan akal, akal digunakan sebagai alat pembenaran wahyu karena saat itu para filsuf abad pertengahan berpandangan bahwa semuanya dipahami dalam prioritas iman atas wahyu. Tetapi hal ini tidak bertahan lama, sejak adanya Rene Descartes yang meningkatkan “derajat” akal sehingga akal terpisah dari bangunan teologi. Dengan ini akal memungkinkan untuk mempertanyakan wahyu, apakah kemudian wahyu merupakan pengetahuan, bentuk pengetahuan, bentuk pengalaman ataukah hanya halusinasi, ilusi serta bentuk hayalan saja?.

Sebelum jauh kita membicarakan akal dan wahyu, kita bahas dahulu persoalan filsafat. Seperti kita ketahui bahwa ilmu yang unik ini –filsafat– masih belum mendapat tempat yang cukup nyaman bagi ummat islam sendiri, ada yang mengatakan bahwa filsafat itu sejajar dengan agama, beriringan dengan agama, alat pembenaran agama atau bahkan filsafat itu berlawanan dengan agama sehingga harus dijauhi oleh orang yang beragama karena ini masuk ilmu yang menyesatkan. Dalam teks Al Qur’an kita sering menemukan kata Al Hikmah –kebijaksanaan, kata ini cukup banyak terdapat dalam Al Qur’an. Menurut Ali Syariati Al Hikmah dalam teks yang memiliki makna kebijaksanaan merupakan legitimasi ilmu filsafat dalam islam. Ketika kebijaksanaan ini diartikan sebagai sarana atau cara untuk mencari kebenaran maka sudah jelas bahwa dalam islam sebenarnya diajarkan filsafat, tetapi memang filsafat disini berbeda dengan filsafat barat. Bila filsafat barat mendasarkan dirinya pada antroposentris –antro=manusia, yang dalam kajiannya manusialah yang memiliki kekuasaan terhadap alam dan dirinya sendiri sehingga tidak ada unsur Tuhan disini, maka filsafat islam mendasarkan dirinya pada teoantroposentris – teo=ketuhanan, yang dalam studinya disamping manusia memiliki kehendak terhadap manusia itu sendiri serta alam, masih ada kekuatan lain yang lebih berkehendak diluar manusia yaitu Tuhannya.

Secara teoritis relasi antara akal dan wahyu ini dapat dibahas serta dilihat dalam pribadi seorang Nabi. Menurut Ibu Sina –seorang filosof serta ahli kedokteran muslim– Nabi adalah seorang pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual diatas rata-rata. Dia juga membagi kemampuan akal manusia dalam berbagai tingkatan, yaitu:

  1. Akal Praktis: akal ini merupakan akal yang hanya memiliki kemampuan untuk menangkap melalui panca inderanya saja, sehingga yang dapat diterima adalah arti-arti yang berasal dari alam materi.
  2. Akal Teoritis: akal ini merupakan akal yang mampu menangkap arti-arti murni diluar jangkauan materi seperti Tuhan, Ruh dan Malaikat sehingga dapat dikatakan bahwa akal ini memusatkan perhatian pada dunia metafisis –diluar atau setelah fisika. Akal ini juga masih mempunyai tingkatannya lagi tingkat tertinggi dari akal ini adalah akal perolehan yang telah sempurna menangkap arti-arti murni, yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan kepada makhlukNya dalam bentuk wahyu, oleh karena itu akal inilah yang dimiliki oleh Nabi.

Manusia adalah makhluk yang memiliki akal, akal digunakan untuk berfikir, berfikir adalah untuk mencari sebuah jawaban, mencari jawaban hakekatnya adalah untuk mencari kebenaran. Akal merupakan potensi yang dianugerahkan kepada manusia untuk dapat mencari serta mempelajari tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan adalah Dzat tertinggi yang memiliki sifat dengan segala kesempurnaannya, pancaran kesempurnaan ini hanya dapat diperoleh oleh manusia yang mau menggunakan akalnya dengan baik. Bila kita sedikit melompat dalam konsep Khalifah maka kita akan menemukan bahwa Khalifah adalah ‘wakil’ Tuhan di dunia sehingga sebagai seorang wakil kita hendaknya harus berperilaku sesuai dengan maksud dari yang kita wakili. Seorang wakil Tuhan haruslah mampu merefleksikan sifat-sifat tuhan dalam kehidupan sehari-hari, untuk dapat melakukannya, sekali lagi seorang manusia harus mau menggunakan akal untuk mengenal Tuhannya.

Akal dan wahyu mempunyai kedudukan yang istimewa dalam agama, karena keduanya merupakan sesuatu yang diperuntukkan oleh manusia sebagai ‘modal’ dalam kehidupan. Akal dan wahyu merupakan dua sarana serta sumber yang saling berhubungan untuk mencari sebuah kebenaran. Melalui proses berfikir yang lurus manusia dapat memperoleh kebenaran yang nantinya digunakan manusia sebagai dasar tindakannya, begitu pula dengan wahyu, melalui wahyu manusia memperoleh kebenaran dari teks ketuhanan. Memang dalam hal ini wahyu bersifat mutlak, tetapi dalam tataran kehidupan yang riil wahyu membutuhkan akal untuk memahaminya. Agama diturunkan kedunia dengan tujuan untuk kemaslahatan manusia dan kemaslahatan manusia dapat dijangkau oleh akal. Yang perlu diperhatikan disini adalah apakah akal dapat menjangkau semuanya?. Akal memang dapat digunakan untuk mencapai kebenaran tetapi untuk mencapai seluruh kebenaran akal membutuhkan bimbingan wahyu, karena akal adalah bagian dari manusia yang sudah tercampur dengan ‘sifat tanah’ sehingga hal-hal yang bersifat metafisis tidak semua mampu dijangkaunya. Akal dan wahyu adalah seperti dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan, kalau kita ibaratkan dalam konsep optik bahwa mata membutuhkan cahaya untuk dapat digunakan untuk melihat karena mata tidak mampu mengeluarkan cahayanya sendiri, maka akal ibarat mata dan wahyu adalah sinarya. Kedua hal ini saling mendukung dalam mencari kebenaran dan tak dapat dipisahkan dalam prosesnya, sehingga kebijaksanaan dapat diperoleh bila kita mampu menggunakan akal dan wahyu dengan sebaik-baiknya.


*)disarikan dari berbagai sumber

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!